“Ti Inya carek Bagawat
Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’ Datang Siya ka Kendan. Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi
Makandria, mana siya datang ka dinih?’ ‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun
pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk
urang heunteu dianak. Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur
siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria,
pideungeuneun satapi satapa, anaking.’ (Carita Parahyangan, Drs.Aca
dan Saleh Danasasmita, 1981)
Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah
suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus
dilarang atau dianggap “buyut”.
Mandala kendan
sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas
wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan
tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak
kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai
tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan). Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja
Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi
yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas
penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.
Daerah ini
dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para
prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian
dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang
berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati
bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :
” Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena
dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang
resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa
terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi
hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”
Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit
Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang
terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala
Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah
negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan
para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu
Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya.
Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam
menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya
adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut
keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :
” Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga
Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida
sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi
ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun
Sanghyang Watang Ageung “
” ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak
Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak
beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi
Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang.
Dialah yang membangun balairung besar”. ( Carita parahyangan,
Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )
Raja Kendan
berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru
Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama
Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai
Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan
Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra
yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan
nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan,
Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun,
yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa
Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang
diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman.
Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah
dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa
menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa
yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya,
karena keputusannya merubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin
menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut,
Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri,
dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan,
yaitu diantara sungai Cimuntur dan Citanduy. sebuah surat dikirimkan kepada
Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning
Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan
yang Mahardika, tidak berada dibawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan
tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda,
ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur
Citarum…hendaknya kita rukun hidup berdampingan” Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M,
berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya.
Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah
timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah
daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan
Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan
dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan
kerajaan tindak lantas merubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala
yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579,
status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal
nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat
itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi
“kesucian” Mandala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar