gedung paseban tripanca tunggal |
Paseban
Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan
Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat
menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang
didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa,
pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.
Paseban Tri
Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri
yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah
yg Maha Tunggal. Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan,
menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya
melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak,
melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.
Ruangan bagian depan sebelah kiri disebut Pendopo,
dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung
Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf
Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya
saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya
merupakan lambang Tri Panca Tunggal.
Pendopo
menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya
tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah,
melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang
bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini
ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di
Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem,
Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran
Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi,
terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya
terdapat hiasan mahkota.
Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Ruang Sri Manganti di Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah kebijakan dalam hidup.
Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah
Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja
Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih
direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di
atasnya terdapat hiasan mahkota.
Ruang Jinem, menggambarkan proses
penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin,
dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran
besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang
juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan
atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan
bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik.
Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan
2007.
Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan
oleh VOC karena berkali-kali Pangeran Kiai Sadewa Madrais Alibasa melawan
kehendak Voc, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup
daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton
Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.
Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh
VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais
Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.
Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki
Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena
Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika
menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi
membangun gedung Paseban ini.
Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal
sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat
bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya
diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun
1901-1908.
Kyai
Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur.
Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa
sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya
diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam.