Gunung Wangi adalah salah satu bukit yang berada di desa Gunung Wangi Kecamatan Argapura Majalengka. Dari kejauhan terlihat berdiri kokoh menopang langit. Namun bukan karena itu Gunung Wangi di kunjungi. Disalah satu sisinya terdapat makom keramat tokoh sepuh Mbah Buyut Wijaya Kusuma.
Mbah Buyut Wijaya Kusuma adalah seorang Pangeran dari Pajajaran yang mengembara dan membuat sebuah padepokan tempat menimba ilmu, hinga Mbah buyut Wijaya Kusuma lebih dikenal sebagai Mbah Buyut Depok.
Gunung Wangi jauh dari keramaian kota, untuk mencapainya pun mesti melewati jalan-jalan desa yang sempit dengan jalan yang naik turun. Jangan kuatir perjalanan kesana takan membosankan. Sepanjang jalan alam akan menghiburnya dengan pemandangan- pemandangan yang mempesona.
Disamping itu juga ada beberapa tempat keramat tokoh setempat yang terlewati yang memungkinkan untuk disinggahi sembari melepas lelah.
Gunung Jaya adalah salah satu bukit di deretan bukit jajar yang membentang dari palimanan sampai rajagaluh dan berputar ke Kramat. Gunung Jaya salah satu bukit yang dikeramatkan karena menyimpan berbagai kisah dan sejarah tentang perjuangan para waliallah menyebarkan agama islam yang mendapat tantangan dari keadipatian Rajagaluh.
Tercatat beberapa tokoh besar yang terkait dengan Situs Gunung Jaya, diantaranya Sunan Bonang yang makomnya berada dikaki gunung Jaya sebelah barat. Tokoh lainnya adalah Syeh Hasan Besari dan Syeh Madkur yang makomnya berada tak jauh dari puncak Gunung Jaya. Selain itu da juga tokoh lainnya Mbah Buyut Raksawana dan Mbah Buyut Sepuh Secabadra yang makomnya sebelah timur gunung Jaya.
Keunikan dari Gunung Jaya adalah di puncaknya terdapat sumur kejayaan. Keadaanya mang selalu kering tak beair, karena itu ika ada yang mendapat atau menemukan sumur itu dalam keadaan berair adalah pertanda besar citta-citanya akan tercapai. Wallahualam...
Selain Sumur Kejayaan ada tempat unik lainya di sisi timur Gunung Jaya yaitu Batu Lawang. Batu Lawang adalah susunan bebatuan yang membentuk pormasi sangat unik seolah diukir sedemikian rupa. Batu Lawang adalh bukti kebesaran Tuhan menciptakan alam.
deretan bukit jajar palmanan
sumur jaya du puncak gunung jaya
kompleks situs sunan bonang di gunung jaya
makom syeh hasan besari dan syeh madkur di puncak gunung jaya
Situs Linggahyang di gunung Linggahyang Ciremai adalah situs purbakala berupa punden berundak, dimana puncaknya terdapat dataran seluas kurang lebih 6 x 12 meter persegi dengan hamparan bebatuan dengan beberapa buah lingga mini.
Situs ini barjarak 1,5km dari situs Sagarahyang yang hanya dapat di tempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak melewati pematang kebun sayuran penduduk yang berujung pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Diyakini Situs ini adalah tempat berkumpulnya para raja-raja senusantara semasa kejayaan kerajaan Saunggalah dan Pajajaran.
Situs purbakala Sagarahyang yang berada di Desa Sagarahyang Keamatan Nusaherang Kabupaten Kuningan adalah situs cikal bakal kerajaan Saunggalah Kuningan yang merupakan kerajaan tandingan dari Kerajaan Galuh.
Kerajaan Saungalah/Saunggaluh didirikan sang Sang Maharesi Demunawan atau Prabu Seuweukarma Rahyang tangkuku. Sang Demunawan adalah cucu dari Prabu Kreti Kandayun pendiri kerajaan Galuh. Sang Demunawan adalah tokoh agung yang sangat religius sehingga mendapat gelar MAHARESI DIRAJA.
Kearifan dan kebijakannya menjadikannya di segani oleh para raja dari galuh dan sunda juga dari kerajaan-kerajaan lainnya,
Situs Sagarah yang masih alami berada di suatu bukit yang di kelilingi pertanian sayuran penduduk. Untuk mencapai lokasi walau jauh dari pusat kota tetapi mudah di jangkau karena akses jalan telah bisa dilalui kendaraan roda empat dengan setruktur jalan yang di cor semen.
Beberapa batu lingga mini, lingga yoni dan batu yang dibentuk menyerupai binatang menjadi bukti dan pelengkap situs ini.
Situs Palasara berada di kaki Gunung Ciremai sebelah utara. Untuk menuju situs ini dapat di capai dari Rajagaluh- Majalengka melalui Desa payung dilanjutkan ke kambung Malarhayu. Malarhayu adalah kampung terakhir di kaki gunung ciremai, jadi yang membawa kendaraan hanya sampai di malarhayu. Selajutnya perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 2km.
Situs Palasara adalah situs purbakala peninggalan Begawan Sakri ayahanda dari Pangeran Palasara. Dalam Silsilah Prabu Siliwangi persi Cirebon. Prabu Siliwangi adalah keturunan dari Pandu Dewanata, dan Pandu Dewanata ini adalhalah putra dari Abiyasa, dan abiyasa adalah putra dari Pangeran Palasara.
Situs Palasara bukan hanya situs peninggalan Pangeran Palasara dan Begawan Sakri namun diyakini Prabu Siliwangi, Mbah Catur Rangga, dan Raden Lokajaya pernah singgah dan melakukan olah batin dan olah rasa di tempat ini.
Saat ini pun mengingat tempatnya yang jauh dari keramaian, di tengah alam yang masih asri dengan latar belakang ke agungan Gunung Ciremai Situs Palasara sangat tepat untuk menyepi sekaligus napak tilas para leluhur.
Dunia telah mengetahui dan mengakui situs kepurbakalaan Gunung Padang Cianjur, namun situs Gunung Padang Cilacap tak banyak yang tahu. Jika dilihat dari stuktur bebatuan yang ada di gunung Padang Cilacap tak begitu jauh berbeda dengan Situs Gunung Padang Cianjur. Walau sebagian meragukan Gunung Padang Cilacapsebagai peninggalan Purbakala, namun susunan bebetuan yang tertata rapi dengan ukuran tertentu mengutkan keyakinan warga bahwa Situs Gunung Padang Cilacap adalah sama seperti gunung Padang Cianjur adalah peninggalan purbakala.
Marilah kita bandingkan stuktur bebatuan di kedua situs:
Sunda yang
katanya berasal dari kata SU yang artinya segala sesuatu yang mengandung unsur
kebaik.
Nah tapi katanya ada juga artil lain yuk kita lihat..
Arti “Sunda”
dalam Bahasa Sansakerta Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia,
terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
Sunda dari akar kata
“Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
Sunda adalah nama lain dari
Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
Sunda adalah nama Daitya, yaitu
satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda;
Sunda adalah satria wanara yang
terampil dalam kisah Ramayana;
Sunda dari kata cuddha artinya
yang bermakna putih bersih;
Sunda adalah nama gunung dahulu
di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P
Koesoemadinata, 1959).
Arti “Sunda”
dalam Bahasa Kawi Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”,
yaitu:
Sunda berarti “air”, daerah
yang banyak air;
Sunda berarti “tumpukan”
bermakna subur;
Sunda berarti “pangkat”
bermakna berkualitas;
Sunda berarti ”waspada”
bermakna hati-hati.
Arti “Sunda”
dalam Bahasa Jawa Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
Sunda berarti “tersusun “
maknanya tertib;
Sunda berarti “bersatu” ( dua
menjadi satu) maknanya hidup rukun;
Sunda berarti “angka dua”
(cangdrasangkala), bermakna seimbang;
Sunda, dari kata “unda”
atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
Sunda berasal dari kata “unda”
yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah
semakin berkualitas.
Arti kata
“Sunda” dalam Bahasa Sunda Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata
“Sunda” itu sendiri, yaitu:
Sunda, dari kata
“saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
Sunda, dari kata “sonda”,
berarti bagus;
Sunda, dari kata
“sonda”, berarti unggul;
Sunda, dari kata “sonda”,
berarti senang;
Sunda, dari kata “sonda”
berarti bahagia;
Sunda, dari kata “sonda”,
berarti sesuai dengan keinginan hati;
Sunda, dari kata
“sundara”, berarti lelaki yang tampan;
Sunda, dari kata “sundari”,
berarti wanita yang cantik;
Sunda, dari kata “sundara” nama
Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
Sunda berarti indah.
Maharaja
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun
ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya
kota itu Sundapura, pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Pada tahun 417 ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak
(sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Paseban
Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan
Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat
menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang
didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa,
pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.
Paseban Tri
Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri
yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah
yg Maha Tunggal. Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan,
menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya
melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak,
melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.
Ruangan bagian depan sebelah kiri disebut Pendopo,
dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung
Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf
Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya
saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya
merupakan lambang Tri Panca Tunggal.
Pendopo
menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya
tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah,
melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang
bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini
ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di
Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem,
Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran
Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi,
terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya
terdapat hiasan mahkota.
Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai
tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun
sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai
tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Ruang Sri Manganti di
Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah
kebijakan dalam hidup.
Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah
Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja
Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih
direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di
atasnya terdapat hiasan mahkota.
Ruang Jinem, menggambarkan proses
penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin,
dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran
besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang
juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan
atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan
bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik.
Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan
2007.
Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan
oleh VOC karena berkali-kali Pangeran Kiai Sadewa Madrais Alibasa melawan
kehendak Voc, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup
daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton
Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.
Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh
VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais
Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.
Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki
Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena
Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika
menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi
membangun gedung Paseban ini.
Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal
sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat
bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya
diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun
1901-1908.
Kyai
Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur.
Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa
sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya
diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam.
Jika
masyarakat Arabia mengenal Mekkah dan Yerusalem sebagai wilayah keramat, maka
di tatar Sunda orang mengenal Galunggung sebagai sebuah kabuyutan.
Di Mekkah terdapat 'maqom' (bekas petilasan) Ibrahim, maka di Galunggung
terdapat 'sanghyang tapak Parahyangan' (bekas petilasan para leluhur awal).
Seorang sesepuh bernama Aki Anang alias Raden Anang Daryan Jayadikusumah"
(1926 - 2000), pemimpin kelompok kebatinan 'jati Sunda' yang juga keturunan
Batara di Galunggung, pernah menuturkan berita turun-temurun kurang lebih
sebagai berikut :
Bahwasanya pada jaman yang telah lampau sekali, tatar Sunda adalah daerah
perairan yang hanya terdapat satu daratan yang tidak terlalu luas (jaman air).
Daerah tertinggi dari daratan itu adalah puncak dari sebuah gunung yang kini
disebut Galunggung. Pada jaman itu puncak Galunggung adalah daratan tertinggi
di tatar Sunda.
Pada hari yang diberkahi, tibalah sebuah perahu besar yang memuat banyak sekali
manusia dan hewan peliharaan. Sebagian orang-orang perahu itu turun dan tinggal
menetap membangun komunitas manusia yang baru. Itulah nenek moyang manusia Sunda
sekarang, dan menjadikan Galunggung sebagai sebuah kabuyutan atau 'sanghyang
tapak Parahyangan'.
Galunggung sebagai sebuah kabuyutan nyata disebut dalam guratan naskah lontar
yang temukan di Ciburuy, Garut, yakni sebuah naskah yang setelah diteliti merupakan
naskah lontar tertua di Indonesia dengan kode Kropak 632. Kropak 632 ini
diperkirakan dibuat pada tahun 1030-an masehi.
Dalam naskah itu diberitakan bahwa Rakeyan Darmasiksa memberikan petuah kepada
anak cucunya tentang pegangan hidup, dan bahwa kabuyutan di Galunggung harus
dijaga dan dipertahankan agar tidak dikuasai oleh orang asing (Danasasmita,
2006).
Pesan Sang Darmasiksa bahwa Galunggung jangan sampai dikuasai orang asing
nampaknya mirip dengan larangan bagi kaum non muslim memasuki tanah al Haram di
Makkah (tanah larangan di Mekkah, Arab Saudi).
Mengapa kabuyutan perlu dijaga, tentulah karena kabuyutan adalah cikal dan
simbol jatidiri. Rusaknya kabuyutan Galunggung berarti pudarnya jatidiri dan
nilai-nilai asli yang khas dari masyarakat Sunda! Pesan Rakeyan Darmasiksa yang
termuat dalam Kropak 632 dibukukan oleh Atja (1929-1991) dan Saleh Danasasmita
(1933--1986) dengan judul 'Amanat Galunggung' (diterbitkan oleh Proyek Pengembangan
Musium Jawa Barat).
Wibawa Galunggung sebagai sebuah kabuyutan, nampak pula dari petikan 'Babad
Tanah Jawi ' dan 'Carita Parahyangan', bahwasanya putra sulung Raja Galuh yang
bernama Sempak Waja menjadi Batara (raja pandita) di Galunggung dengan gelar
Batara Dangiang Guru, yang melantik raja-raja yang akan berkuasa.
Kedudukan Batara di Galunggung yang amat tinggi didukung pula oleh penemuan
naskah kuno lain dengan kode Kropak 406, yang isinya menerangkan kurang lebih
sekitar tahun 1030-an, datanglah Darmasiksa (Sri Jayabupati) menghadap Batara
keturunan Batara Dangiang Guru Sempak Waja, meminta wilayah yang kemudian
diberi nama oleh Batara yang berkuasa itu sebagai 'tempat tinggal Sang Karma'
(Saunggalah). Darmasiksa atau Sri Jayabupati menurut Carita Parahyangan adalah
anak dari Sang Lumahing Winduraja. Sedangkan menurut naskah Pangeran
Wangsakerta, Jayabupati adalah Raja Sunda ke-20 yang memerintah tahun 1030-1042
(Ekadjati, 2005).
Demikianlah Galunggung disebut sebagai kabuyutan, sebagai 'sanghyang tapak
Parahyangan' yang sangat dikeramatkan dan dijaga oleh para 'raja pandita'
(Batara) yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi di atas raja-raja biasa.
Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul terkemudian, yang merupakan 'turunan' dari
kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh,
Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung,
kabuyutan-kabuyutan ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.
PARA BATARA DI GALUNGGUNG
Membahas kabuyutan Galunggung tidak bisa lepas dari topik para Batara yang
mendudukinya. Sejauh ini naskah-naskah kuno paling banyak menyebutkan nama
'Batara Dangiang Guru Sempak Waja' yang menjadi Batara di Galunggung.
Batara-batara lain sesudahnya pun kadang disebut dengan menyertakan nama besar
Dangiang Guru Sempak Waja, seperti halnya yang tertulis pada Kropak 406 di
atas.
Dari Prasasti yang ditemukan di Gegerhanjuang, Tasikmalaya, diketahui nama
seorang Batara wanita. Mungkin Batara wanita satu-satunya, bernama Batari
Hyang, yang pada tahun 1111 mengubah bentuk kebataraan menjadi kerajaan, yaitu
Kerajaan Galunggung.
Menurut versi lokal, diketahui setidaknya enam orang Batara yang memerintah setelah
Batari Hyang tahun 1111, dan tidak diketahui jumlah Batara sebelum masanya.
Para Batara penguasa Galunggung yang dikenal masyarakat lokal diantaranya
Batari Hyang, Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan
Batara Wastuhayu. Versi keluarga R. Anang Daryan Jayadikusumah menambahkan nama
Batara Gunawisesa.
Batara Gunawisesa adalah kakak sulung Batara Kuncung Putih. Adik-adik Batara
Gunawisesa dari yang tertua hingga yang termuda adalah Wahyu Cakraningrat
(makam di Curug Tujuh Galunggung), Ambu Sarigan (makam di Dinding Ari
Galunggung), Ambu Hawuk alias Nyi Mas Garsih (makam di Dinding Ari Galunggung),
dan Batara Kuncung Putih (makam di Kawah Galunggung).
Menindaklanjuti informasi dari prasasti Gegerhanjuang bahwasanya pada tahun
1111 masehi terjadi perubahan bentuk pemerintahan dari bentuk kebataraan
menjadi kerajaan, tentulah menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan kedua
bentuk pemerintahan tersebut.
Sejauh ini belum ada rujukan pustaka yang menerangkan hal itu.. Namun menurut
hemat Penulis, barangkali bentuk kebataraan dapat dimisalkan dengan bentuk
kepausan katolik sekarang ini yang berkedudukan di Roma. Italia, yakni
pemerintahan setingkat negara (bahkan lebih dari itu) yang hanya mengurusi
keruhanian masyarakat. Kemudian barulah pada tahun 1111 masehi, yakni pada
jaman Batari Hyang, Batara tidak hanya mengurusi masalah ruhani masyarakat,
namun juga masalah kompleks sehari-hari seperti kesejahteraan rakyat, politik,
budaya, dan lain-lain. Dengan demikian, bertambahlah fungsi Batara sejak saat
itu, meminjam istilah Islam, yakni sebagai 'ulama' (tokoh ruhani) sekaligus
'umaro' .
JATI SUNDA SEBAGAI ‘AGAMA’ PARA BATARA
Kini muncul sebuah pertanyaan baru. Sebagai tokoh ruhani, apakah 'agama' para
Batara ?
Menilik berdasar istilah, 'batara' tentulah kental dengan ke-Hinduan yang
dibawa dari India.
Bisa jadi para Batara di Galunggung beragama Hindu adanya. Tapi bisa jadi pula
tidak, meski segala istilah meminjam unsur ke-Hinduan.
Danasasmita (2006) dalam tulisannya berjudul 'Batu Nyantra dari Tapos'
memberikan informasi yang disepakati oleh Penulis, bahwa agama orang Pajajaran
(Sunda, Parahyangan) mengandung tiga unsur utama, yakni 'Hinduisme',
'Budhisme', dan 'Jati Sunda' dengan pemuliaan para leluhur. Dari ketiga unsur
tersebut, ternyata 'Jati Sunda' yang paling mendominasi.
Merujuk pada pendapat Saleh Danasasmita (2006) pada tulisan berjudul 'Batu
Nyantra dari Tapos' dan 'Hubungan Sri Jayabupati dengan Prasasti Geger
Hanjuang, Penulis akan mengulas tentang alam spiritual masyarakat Sunda kuno,
terutama para Batara di Galunggung :
Berdasar istilah-istilah dan nama-nama yang terdapat pada prasasti dan naskah
kuno lainnya, para ahli berpendapat bahwa agama yang berkembang di tatar Sunda
adalah Hindu. Namun setelah diteliti, apabila Hindu yang dianut, maka Hindu
orang Sunda berbeda dengan Hindu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hindu di tatar
Sunda tidak mengenal kasta, yang ada hanyalah feodalisme biasa.
Agama Hindu yang agak cocok dengan profil spiritual di tatar Sunda adalah Hindu
Tantrayana, yakni perpaduan Hindu dan Budha, namun lebih mengarah ke Budha. Hal
ini didukung oleh penemuan "Batu Nyantra" di Tapos, Bogor, pada tahun
1979, yang pada bagian atasnya terdapat goresan serupa gajah, dimana gajah adalah
simbol aliran Tantrayana yang lebih mengarah ke Budhiisme.
Gambar gajah terdapat pula pada prasasti Kebon Kopi yang ditemukan di Kampung
Muara, Cibungbulang, Bogor. Dengan demikian, Budhisme lebih dominan daripada
Hinduisme dalam pengertian 'Siwaisme' pada masyarakat tatar Sunda kala itu.
Meminjam ungkapan Danasasmita, meninjau sejarah keagamaan di India, sebenarnya
Budhisme dapat disebut sebagai salah satu aliran dalam agama Hindu. Sedangkan,
agama Budha sendiri pada dasarnya lebih cenderung merupakan filsafat daripada
agama. Ajaran agama Budha pada asal muasalnya tidak mengenal ritual ibadat
karena menurut pahamnya keberhasilan mencapai nirwana semata-mata bergantung
pada kebenaran karma (perbuatan) belaka.
Apa yang membedakan Budhisme dengan Hinduisme ialah watak Budhisme yang
kosmopolit, dapat dianut oleh mereka yang bukan Hindu. Hinduisme pada dasarnya
bercorak Aryan, bercorak khas Hindu, kerena menurut doktrin yang mendasarinya,
seorang Hindu dilahirkan dalam kasta. Agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Agaknya
nilai-nilai Budhisme inilah yang menjadi bagian 'irisan' dengan falsafah asli
Sunda, yaitu 'Jati Sunda'.
Menurut hemat Penulis, bukan Hinduisme atau Budhisme yang mendominasi alam
spiritual orang Sunda, terutama para Batara di Galunggung. Hinduisme dan
Budhisme hanya memperkaya khasanah spiritual dan bahasa. Logika sejarah
mendukung pendapat Penulis, bahwa semenjak filtrasi besar-besaran ajaran Islam
dari Cirebon dan Banten abad ke-16 di tatar Sunda, Hinduisme dan Budhisme
begitu mudah sirna, sementara 'Jati Sunda' masih tetap ada dan hidup di hati
masyarakat Sunda hingga detik ini. Jadi mana yang lebih berurat-berakar :
Hinduisme - Budhisme atau 'Jati Sunda' ?
Ajaran 'Jati Sunda' mengajarkan keimanan kepada Tuhan Yang Satu, hidup
sederhana (meurih), saling tolong menolong, bersahaja, dan 'kembali ke alam'
atau 'back to nature', yakni bahwa alam dan manusia saling memberi sebab -
akibat (Suganda, 2006).
Ajaran 'Jati Sunda' ini masih nampak kental pada beberapa komunitas masyarakat
di wilayah tatar Sunda, diantaranya masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya,
Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh dan Kampung Pulo di Garut, Kampung Urug
di Bogor, Kampung Ciptarasa - Sirnarasa di Sukabumi, dan Kanekes di Banten.
‘Jati Sunda’, jika dianggap agama, maka agama ini mirip dengan agama Nabi
Ibrahim as. Agama Ibrahim belum bernama Islam. Para ulama menyebut agama
Ibrahim adalah agama Hanif, yakni agama ‘Jalan Lurus’.
Demikianlah, bahwa banyak istilah Kehinduan yang memperkaya khasanah bahasa di
tatar Sunda, khususnya di kabuyutan Galunggung, yang faktanya tak terbantahkan.
Begitu pula sumbangan ajaran Hinduisme dan Budhaisme yang memperkaya falsafah
asli 'Jati Sunda'. 'Jati Sunda' agaknya sudah ada jauh sebelum Hinduisme -
Budhisme dikenal di Galunggung.
'Jati Sunda' mungkinkah 'agama' yang dibawa para Parahyangan (leluhur awal)
yang merapat di Galunggung pada jaman air seperti cerita yang ditutur oleh
mendiang Aki Anang ? Benarkah cerita Aki Anang tentang hal ikhwal karuhun Sunda
di Galunggung ? Kita semua masih menunggu jawaban ilmiah dari para ahli.
Kabuyutan Galunggung : masih misteri yang belum terpecahkan ...
DAFTAR PUSTAKA
Suganda, Her. 2006. 'Kampung Naga Mempertahankan Tradisi'. Penerbit PT Kiblat
Buku Utama. Bandung
Danasasmita, Saleh. 2006. 'Hubungan antara Sri Jayabupati dan Prasasti
Gegerhanjuang' dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya
Sunda' - Kumpulan makalah. Pusat Studi Sunda. Bandung
Danasismita, Saleh. 2006. Batu Nyantra dari Tapos' dalam 'Mencari Gerbang
Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' - Kumpulan makalah. Pusat
Studi Sunda. Bandung
Ekadjati, Edi. 2005. 'Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta'. Pustaka Jaya.
Jakarta
Silsilah Aki Anang (R. Anang Daryan Jayadikusumah) ke Batara di Galunggung)
Sumber:
(Hamdan Arfani adlh Keturunan ke-13 Batara Gunawisesa)